Ramadan Remix: Transforming Nuances in Popular American Culture

Bulan suci Ramadhan telah tiba, menyinari umat Islam di seluruh dunia dengan penuh kegembiraan. Di Indonesia, yang memiliki populasi umat Islam terbesar di dunia, bulan Ramadhan dirayakan secara meriah. Tidak hanya sebagai bulan suci umat Islam, Ramadhan di Indonesia telah menjadi sebuah budaya yang sangat dekat dengan seluruh lapisan masyarakat.

Dalam setiap bulan Ramadhan, terdapat fenomena menarik yang terjadi, yaitu perubahan nilai budaya menjadi nilai-nilai Islam. Hal ini sejalan dengan konsep yang dikenal sebagai komodifikasi, yang digagas oleh Karl Marx. Komodifikasi merujuk pada proses transformasi objek, baik itu barang, jasa, pengetahuan, makhluk hidup, atau bahkan budaya, menjadi komoditas atau produk yang memiliki nilai dalam transaksi pasar.

Menurut Marx, terdapat dua nilai produksi, yaitu “nilai guna” yang berkaitan dengan manfaat langsung yang diberikan oleh suatu produk, dan “nilai tukar” yang menentukan nilai suatu barang berdasarkan kebutuhan dan keinginan konsumen. Komodifikasi erat kaitannya dengan nilai tukar komoditas, di mana produk diciptakan untuk memenuhi permintaan pasar yang dipicu oleh kebutuhan masyarakat.

Salah satu bentuk budaya yang mengalami transformasi adalah iklan televisi. Iklan menjadi media yang digunakan oleh perusahaan untuk menyampaikan informasi dan mempromosikan produk mereka kepada calon konsumen. Konsep semiotika, seperti yang diungkapkan oleh Roland Barthes, menyatakan bahwa segala sesuatu dalam dunia ini membawa kode atau tanda-tanda yang memiliki makna, membentuk suatu sistem budaya yang lebih besar.

Bulan suci Ramadhan juga memengaruhi dunia iklan, terutama iklan produk franchise dari Amerika seperti KFC, McDonald, dan PizzaHut. Sebagai contoh, iklan KFC berjudul “Jagonya Ayam” masih menampilkan kehidupan modern yang identik dengan anak muda, namun dengan sentuhan religi yang ditunjukkan melalui busana hijab modern dan menu ayam rendang. Budaya populer masih tetap melekat pada iklan tersebut.

Iklan McDonald dengan judul “Bulan Ramadhan Bulan Kasih Sayang” menggambarkan suasana religi Ramadhan dengan fokus pada kehidupan seorang wanita berhijab yang bekerja di McDonald dan berbuka bersama keluarganya di restoran tersebut. Meskipun menonjolkan nuansa religi, budaya populer tetap terlihat dari suasana McDonald yang dikunjungi oleh masyarakat kota besar.

Coca Cola juga tidak ketinggalan dengan iklannya berjudul “Rasakan Keajaiban Ramadhan Bersama”, yang menekankan suasana keakraban dan kehangatan keluarga selama bulan suci. Iklan ini meninggalkan konsep kehidupan modern yang biasa ditampilkan dalam iklan minuman bersoda dan lebih menekankan pada nilai-nilai Ramadhan, dengan keluarga yang mengenakan hijab.

Pada bulan Ramadhan, iklan-iklan tersebut mengalami transformasi menjadi lebih islami. Produk-produk makanan cepat saji dari Amerika pun ikut menyajikan iklan yang lebih ramah Muslim. Mereka mempromosikan berbagai jenis paket Ramadhan, mulai dari paket berbuka hingga paket sahur. Iklan yang biasanya berfokus pada kehidupan anak muda yang bebas ribet, berubah menjadi iklan yang menggambarkan kekeluargaan dan kehangatan Ramadhan.

Iklan sebagai media komunikasi massa menjadi alat untuk menghubungkan pelanggan dan produsen dengan menyampaikan kode semiotika. Tujuannya adalah untuk membangkitkan minat konsumen terhadap produk tertentu dan membangun citra positif perusahaan di kalangan masyarakat Muslim. Perubahan nilai budaya dalam suatu produk dapat dikaitkan dengan kebutuhan masyarakat, terutama di Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk Muslim terbesar di dunia. Pada bulan suci Ramadhan, fokus masyarakat Indonesia bergeser ke aspek-aspek yang bersifat Islami, dan transformasi nilai budaya pada iklan menjadi sebuah strategi untuk meningkatkan penjualan produk. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx, komodifikasi budaya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan konsumen, dan dalam konteks ini, masyarakat Indonesia.