Kontroversi Blackwashing Dalam Sastra Populer Amerika: Kajian Perspektif Black Live Matters

Muhammad Fithratullah. S.S. M.A

“Black Lives Matter” adalah gerakan sosial yang didirikan pada tahun 2013 sebagai respons terhadap pembebasan George Zimmerman, yang menembak dan membunuh remaja kulit hitam Trayvon Martin. Gerakan ini bertujuan mengatasi rasisme sistemik dan ketidaksetaraan dalam masyarakat Amerika. Kasus kematian George Floyd pada tahun 2020 memicu gelombang global menentang brutalitas polisi dan rasisme sistemik, mendorong perubahan di berbagai sektor, termasuk industri hiburan seperti Hollywood.

Baca juga : Two FSIP UTI Lecturers Win PKM and Research Grants with DRTPM Funding in 2023

Industri hiburan telah lama dikritik terkait kurangnya keragaman dan representasi. Respons terhadap gerakan “Black Lives Matter” membawa perubahan dalam praktik perekrutan dan investasi dalam proyek yang menyoroti pengalaman orang Afrika Amerika. Namun, ini juga memunculkan fenomena “blackwashing,” di mana karakter tradisional berkulit putih diganti dengan karakter Afrika Amerika. Meskipun disajikan sebagai langkah positif, banyak yang merasa ini cenderung menjadi “tokenisme” tanpa mengatasi akar permasalahan rasisme.

Analisis Kritis

Perubahan drastis terlihat dalam remake film Hollywood terkini, seperti “The Little Mermaid,” yang memilih aktris Afrika Amerika, Hale Bailey, sebagai pemeran Putri Ariel. Kontroversi juga muncul dalam serial seperti “Anne Bolyn,” di mana aktris berkulit hitam, Judi Turner Smith, memerankan tokoh utama sejarah Inggris. Netflix docu-series tentang Cleopatra juga menimbulkan kontroversi karena memilih aktris kulit hitam, Adelle James, untuk memerankan Ratu Mesir tersebut, yang menimbulkan kritik dari sejarawan dan masyarakat Mesir.

Penggantian karakter ini dapat menciptakan kontroversi karena berpotensi bertentangan dengan sejarah dan budaya aslinya. Namun, dapat juga dianggap sebagai kesempatan untuk merefleksikan keberagaman dalam perfilman global. Di era globalisasi, kita perlu menghargai perspektif yang berbeda sambil tetap menghormati sejarah dan budaya asli.

Blackwashing dihadirkan sebagai titik balik dari gerakan “Black Lives Matter,” menuntut kesetaraan dalam industri hiburan. Namun, hal ini juga menciptakan dilema bisnis karena terlihat sebagai upaya untuk meningkatkan popularitas dan pendapatan tanpa tulus mengatasi masalah rasisme. Banyak warga Afrika Amerika sendiri turut meragukan atau bahkan mencemooh praktik ini. Kritikus film menyayangkan hal ini, mengingat industri hiburan seharusnya menciptakan karakter baru yang inspiratif daripada mengganti karakter tradisional.

Perspektif Budaya

Dalam menyikapi Blackwashing, sejarah dan konteks cerita harus diperhatikan. Stereotip dan klise yang tidak akurat harus dihindari untuk memberikan perwakilan yang tepat dan realistis pada masyarakat kulit hitam. Ini relevan tidak hanya dalam dunia film dan media, tetapi juga dalam kehidupan sosial dan politik. Penggambaran karakter kulit hitam harus menghargai keragaman masyarakat dan menghindari pengekangan oleh klise yang tidak akurat.

Sebagai solusi, industri hiburan harus memprioritaskan pembuatan karakter baru yang mewakili masyarakat Afrika Amerika tanpa menggantikan karakter tradisional. Ini akan memberikan kesempatan pada masyarakat kulit hitam untuk memiliki narasi mereka sendiri, sesuai dengan tujuan sebenarnya dari gerakan “Black Lives Matter.” Pemilihan pemeran harus mempertimbangkan keakuratan sejarah dan meminimalkan konflik budaya.

Baca juga : Sinopsis Napoleon: Ambisi Jenderal Vendemiaire Hingga Jadi Kaisar Prancis

Pentingnya mewujudkan perubahan positif dalam industri hiburan dan representasi masyarakat kulit hitam di layar kaca harus menjadi fokus utama. Dengan demikian, langkah-langkah yang diambil harus bersifat jujur, tulus, dan menyeluruh. Pengembangan karakter baru yang mencerminkan keberagaman masyarakat Amerika dapat menjadi tonggak penting untuk memajukan perubahan positif dan menyeimbangkan representasi di dunia hiburan.